Minggu, 08 Mei 2011

Ikhlas

Dalam sebuah al-Hadits as-Syarif beliau bersabda, ''Ana madiinatul ilmi (sayalah kota segala ilmu). Tetapi, ada satu pertanyaan, yang Rasullullah tidak langsung menjawabnya. Apa gerangan pertanyaan itu sehingga Rasulullah harus meminta waktu, mengernyitkan kening dan memeras otak? ''Wahai Baginda Rasul apa yang dimaksud dengan ikhlas?'' tanya seorang sahabatnya.
Setelah berdiam, Rasulullah memusatkan perhatian, dan menyampaikan pertanyaan serupa kepada Malaikat Jibril As. ''Aku bertanya kepada Jibril As tentang ikhlas, apakah ikhlas itu?'' Lalu Jibril bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah SWT menjawab Jibril dengan berfirman, ''Suatu rahasia dari rahasia-KU yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-KU yang Ku-cintai.''
Kalau gambaran ikhlas itu sebagaimana diajarkan Allah melalui Jibril yang disampaikan kepada Baginda Rasul tersebut, maka betapa banyaknya di antara kita yang tidak memilikinya. Sebab, hanya hamba-hamba yang dicintai Allah saja yang dapat memiliki ''makhluk'' ikhlas ini.
Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisabury, bila seseorang memiliki sifat ikhlas, ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Apa yang dilakukan semata-mata untuk Allah meski yang dia perbuat untuk mengurangi penderitaan sesama manusia. Ia akan selalu membantu orang, dengan alasan karena Allah memang Dzat yang senang membantu. Ia akan bekerja kalau Allah yang menjadi tujuannya.
Begitu sulitnya menemukan sosok ikhlas di hati semua orang, sampai-sampai Baginda Rasul berhati-hati membuat definisi ikhlas. Oleh sebab itu, Rasul lantas memberi jaminan kepada umatnya yang punya sifat terhormat ini. Baginya, demikian Rasulullah, belenggu apapun tak akan berhasil, walau mampir sekali pun di hati seorang yang ikhlas (mukhlis).
Seperti apakah ciri-ciri orang yang ikhlas? Sahabat Anas Ibnu Malik menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, ''Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika ia menetapi tiga perkara; ikhlas beramal hanya bagi Allah, memberikan nasihat yang tulus kepada seorang penguasa dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.''
Begitu beratnya sifat ini menjadi pola hidup seseorang, sampai-sampai ada ujaran yang menyebutkan, ''jika seseorang masih melihat keikhlasan dalam sikap ikhlasnya, maka keikhlasannya masih memerlukan keikhlasan lagi,'' kata Abu Ya'qub as-Susi.
Bagi seorang yang ikhlas, seluruh perbuatannya akan selalu berdasarkan suara nurani untuk kebaikan semua orang dan semua makhluk. Jika timbul dalam hatinya sebuah niat baik, ia akan melakukannya. Hidupnya mengalir seperti air bah, menerjang apa saja yang ada di depannya. Untuk apa yang dia perbuat, dia sudah melupakan apa yang disebut dengan pujian dan cercaan. ''Amalnya tak lagi memberi ruang bagi lahirnya pujian atau cercaan,'' kata Dzun Nun al-Mishry. Dia akan tetap bekerja sesuai pesan Allah, meski manusia di sekitarnya memberikan pujian atau malah mencelanya.
Sejatinya, Indonesia amat membutuhkan orang seperti ini untuk dijadikan pemimpin yang dapat mengeluarkan bangsa dari deraan krisis yang tiada henti. Pemimpin semacam ini akan selalu bekerja sesuai amanat rakyat, meski dia sadar tak ada orang yang memujinya. Dia selalu bekerja tanpa kompromi terhadap pelanggar dan pengkhianat rakyat, meski tahu akan dicerca banyak orang, bahkan koleganya.
Bagi orang yang hidupnya diliputi tabir keikhlasan, malah akan selalu melupakan apa yang telah dia amalkan. Anehnya, para pemimpin yang mendapatkan amanat rakyat justru tidak pernah mau bekerja dan beramal. Bahkan, kalau pun harus bekerja, dia masih menunggu apakah memang terbuka peluang bagi munculnya pujian. Keberaniannya memberantas korupsi langsung mengkerut, setelah berhitung betapa banyak yang akan mencercanya.
Bagaimana mungkin pemimpin semacam ini akan berani menghadapi risiko dicerca sementara untuk beramal sesuai tugasnya saja sudah sulit diharapkan. ''Ia akan melupakan amalnya ketika dia beramal,'' kata Abu Utsman al-Maghriby.
Bahkan, seseorang yang ikhlas dalam beramal, ia juga akan melupakan hak imbalannya di akhirat kelak. ''Ia akan melupakan haknya untuk memperoleh imbalan pahala di akhirat karena amal baiknya itu.''
Sungguh sulit mencari pemimpin semacam ini. Sampai janji imbalan yang disiapkan Allah sekali pun, ia akan melupakannya. Dia tidak pernah berdagang dengan Allah dalam setiap amalnya. Amalnya benar-benar dilakukan bukan karena pujian dan cercaan, melupakannya setelah beramal, bahkan tak peduli dengan hak pahala yan telah dijanjikan Allah kepadanya. Sungguh!
Mengukur ikhlas tidaknya seorang pemimpin, harus berpedoman kepada definisi agama dan jangan pernah menimbangnya sesuai selera, pendapat serta budaya mengenai keikhlasan. Apabila disederhakan, keikhlasan adalah pekerjaan yang benar dan diniati hanya untuk Allah, meski dengan bentuk dan proses yang bervariasi.
Menjadi sangat ironis karena bangsa ini sudah tidak terbiasa memberi sehingga kepada seorang guru mengaji, dia menolak memberikan imbalan hanya dengan alasan kuatir menggangu keikhlasan sang ustadz. Ada pula yang berkilah, ''maaf saya tidak bisa memberikan ongkos taksi untuk pulang karena saya kuatir Pak Ustadz masuk dalam kategori orang yang menjual ayat-ayat Allah,'' demikian alasan lain seorang murid mengaji. Bagi komunitas masyarakat semacam ini, orang yang ikhlas akan selalu ''membeku'', tidak memiliki dinamika hidup dan tinggal jauh dari pusat keramaian.
Seorang yang mukhlis akan selalu menerima dalam posisi apapun; ikhlas karena kaya dan ikhlas pula karena fakir. Seseorang bisa ikhlas karena kaya dan bisa tidak ikhlas karena fakir. Bisa juga orang ikhlas dalam kefakiran tetapi tidak ikhlas dalam kekayaan. Keikhlasan amat tidak perlu ditampak-tampakkan karena semakin mengklaim dirinya ikhlas, kadar keikhlasannya menurun. Ibarat spiritus, begitu tutupnya dibuka, langsung menguap. Orang ikhlas, biar dibilang tidak ikhlas tidak akan membela diri, sebab kalau dia marah karena dikatakan tidak ikhlas, itu tanda-tanda ketikadikhlasan.
Seperti apa buah ikhlas? Hasil sebuah keikhlasan dapat dilihat di belakang, bukan di depan dan bukan di tengah. Karena di dalam Alquran disebutkan, ''Walillaahi 'aqibatul umuur.'' Milik Allah resultan dari semua fenomena. Allah hanya akan membuktikan sebuah ajaran-Nya pada akhir sebuah fenomena.
Berkali-kali kita saksikan di sangat banyak tempat seorang ulama yang hanya dengan kekuatan dirinya sendiri membabat hutan kemudian menjelma pesantren beribu santri. Itu hasil keikhlasan, bukan karena kepandaiannya. Sampai dia wafat, hasilnya masih lintas generasi. Sementara banyak orang yang membuat panitia dengan 50 orang semua sarjana, bikin mushalla kecil saja tidak jadi-jadi. Padahal, sudah beribu-ribu proposal dikirim ke sana kemari.
Pemimpin yang didengar dunia adalah pemimpin yang ikhlas karena ajaran ikhlas bersifat universal, lintas agama, bukan monopoli Islam. Orang non-Islam bisa ikhlas dengan berkonotasi humanitas. Di Islam konotasinya Li Wajhillah. Kita bermohon kepada Allah agar di negeri ini lahir pemimpin yang ikhlas, yang memimpin bukan untuk dirinya, tetapi karena itu perintah Allah. Wallaahu A’lamu Bisshowaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar